06 June 2007

SELAMAT PAGI UNJ!

Tabloid Transformasi UNJ

Syahdan, di sebuah kampus di sebuah negara, terlihat suasana aktivitas pendidikan yang menawan. Bangunan kampus itu rapi dan bersih dengan polesan cat yang apik.

Penataan gedung-gedungnya juga sangat artistik. Di sisi kiri kanan gedung terdapat taman dengan bangku-bangkunya yang selalu diduduki mahasiswa untuk sekadar baca buku, diskusi, atau bahkan untuk duduk-duduk melepas kepenatan setelah seharian berkuliah.

Di ujung jalan, terdapat bangunan yang berisi ratusan komputer. Para mahasiswa terlihat tekun mengoperasikan komputer, menjelajahi dunia cyber, atau sekadar melengkapi administrasi melalui komputer. Semuanya disediakan secara gratis oleh kampusnya. Di samping gedung tersebut berdiri megah asrama yang dikhususkan bagi mahasiswa secara cuma-cuma. Semuanya gratis!

Di tengah-tengah kampus terdapat bangunan yang menjulang tinggi, sangat mencolok dibandingkan bangunan lain yang ada di kampus itu. Sebuah perpustakaan. Gedung itu berisi ribuan buku yang selalu tertata rapi dan tidak pernah hilang. Buku-buku baru selalu bermunculan dan memenuhi rak-rak buku. Kalau ada mahasiswa yang tidak tahu di mana letak buku yang sedang dicarinya, maka petugas dengan ramah akan menunjukkannya. Di perpustakaan yang terbuka 24 jam penuh itu selalu disesaki mahasiswa yang haus membaca buku.

Sesekali terlihat dosen sedang berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswanya di koridor kampus. Mereka terlihat akrab, yang satu tidak merasa dosen sehingga merasa lebih pintar, sedang sang mahasiswa juga menganggap dosen sebagai mitra belajarnya. Sepertinya dosen-dosen itu sangat mempunyai waktu yang sangat luang untuk melayani mahasiswa-mahasiswanya. Mereka tidak terlihat terburu-buru untuk mengajar di tempat lain atau mengurusi proyek kampus yang bernilai jutaan rupiah.

Sementara di sudut lain, beberapa mahasiswa sedang berdiskusi di bawah rerimbunan pohon. Walaupun terkesan santai, tapi rupanya perbincangan mereka cukup serius. Yang jelas suasana kultur akademis dan keilmuan berkembang dengan baik di kampus itu.

Ketika malam, kampus itu sangat terang benderang. Lampu penerangan kondisinya sangat baik dan terawat. Sayup-sayup terdengar suara musik dari sekelompok mahasiswa pecinta seni yang sedang mementaskan opera di gedung teater. Gedung itu layaknya gedung teater zaman Romawi Kuno dengan panggung dan pencahayaan yang baik. Tempat duduk penonton pun berjajar rapi bersusun dari atas ke bawah. Dindingnya dilapisi kayu sehingga menimbulkan suara yang halus. Semua mahasiswa tentunya boleh menggunakan fasilitas itu dengan mudah dan gratis.

Entah ada atau tidak kampus itu yang jelas khayalan itu mungkin dialami oleh sebagian mahasiswa di kampus kita yang tercinta ini. Dan saya yakin semua mahasiswa di kampus kita akan berteriak "mustahil!" jika disodorkan cerita seperti itu.

Tapi nanti dulu. Angan-angan tentu boleh saja, toh tidak ada yang melarang. Jadi boleh saja dong saya berangan-angan kampus kita nanti bisa seperti itu. Sekurangnya seperti kampus di atas yang entah ada atau tidak. Tidak mesti sekarang tentunya, karena pasti tidak mungkin, entah 2050, 2090, atau 2200. Kita lihat saja nanti.

Tapi seorang teman saya, mahasiswa gondrong yang sedikit nakal dan urakan sering berujar; "Jangan macam-macam minta yang lebih, wong SPP-nya saja cuman segitu." [Mungkin teman saya ini lupa kalau sekarang biaya kuliah sudah sangat mahal], atau maksud teman saya kira-kira begini; jangan harap dapat hasil yang berkualitas dari kuliah karena SPP-nya masih kurang gede! Atau teman saya sebenarnya pengen ngomong kalau tidak sedikit penghuni kampus ini yang kualitasnya tidak bagus! Saya sendiri agak tidak suka dengan dugaan saya yang terakhir, tapi sudahlah, kan saya cuman nerka-nerka maksud perkataan teman saya barusan.

Teman saya yang satu lagi ketika ditanya tentang alasan mengapa masuk kampus kita yang tercinta ini dan mengambil jurusan yang dipilihnya, dengan enteng ia menjawab bahwa semuanya karena untung-untungan lulus SPMB. "Masuk UNJ lebih gampang ketimbang UI atau ITB." katanya.

Saya sendiri ingat ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus tercinta ini, saya sering merasa cemas, kadang juga senang, atau yang lebih sering adalah kebanggaan. Mungkin saya berharap dengan sepenuh hati bahwa UNJ-lah yang nantinya akan mengubah masa depan dan kehidupan saya selanjutnya. Atau UNJ-lah yang nantinya bakalan mengantarkan saya ke gerbang kesuksesan. Tetapi, ketika saya menemukan relita yang sebenarnya dari kampus yang bernama UNJ, saya hanya bisa tersenyum kecut. Sialnya teman saya yang sering mencemooh makin menjadi-jadi mencemooh saya ketika saya menceritakan kalau saya telah menemukan hal sebenar-benarnya dari kampus kita yang tercinta ini.

Saya benar-benar dendam diperlakukan seperti itu, saya berharap suatu saat bisa mencemooh dia. Suatu sore menjelang senja, ketika saya sedang memasuki kampus kita yang tercinta ini dari Jalan Rawamangun Muka, saya bertemu dengannya. Saya agak aneh karena melihat roman mukanya yang masam. Dia lantas bercerita kalau baru saja mengurus sesuatu di ruang administrasi. "Gila, masak ruang administrasi baru buka jam sembilan? Pada kemana aja tuh orang-orang!" Saya cuman ketawa sambil sesekali mencemooh dia tentunya. Impas!

Cerita sahabat saya yang gondrong tadi kira-kira mirip cerita yang pernah saya alami. Waktu itu kami janjian jam delapan pagi akan ketemuan di depan pintu perpustakaan kampus kita yang tercinta ini, pacar saya berharap perpustakaan akan buka jam delapan tepat. Berhubung saya bangun kesiangan, jam sembilan pagi saya baru datang ke perpustakaan. Dan itu pun perpustakaan tetap belum buka, jadilah pacar saya yang uring-uringan karena perpustakaan belum buka menumpahkan kekesalannya pada saya.

Kembali lagi ke cerita sahabat saya yang gondrong. Setelah puas mencemooh, saya cepat bergegas ke Kansas karena seharian belum kena air kopi. Ketika saya sedang ngopi di warung Mas Lono, dua mahasiwa masuk dan langsung duduk di depan saya, rupanya mereka pejabat mahasiswa di lembaga eksekutif, satu di antara keduanya sedang bergerutu karena acara konser nasyid yang akan mereka laksanakan terancam batal, pasalnya Teater Sastra sudah dibooking buat acara kawinan. "Gimana kalau kita pake gedung Sarwahita aja," temannya memberi saran. "Antum gimana sih, dana kita kan minim, setahu ane sekarang pinjem Sarwahita harus bayar!" sanggahnya. Nah lu! Padahal ngapain juga pakai Teater Sastra [atau Teater Besar], gedung itu kan tidak bagus buat pentas seni, tidak ada sistem pencahayaan yang bagus, tidak kedap suara, dan akustiknya juga kurang baik, kata saya dalam hati.

Penggantian nama IKIP Jakarta menjadi UNJ belum terlalu lama. Baru lima tahun. Untuk ukuran anak kecil atau bayi, umur lima tahun memang sedang nakal-nakalnya dan baru belajar mengenal berbagai objek di sekelilingnya. Selama kurun waktu lima tahun dari 1999-2005, sepertinya UNJ sedang berusaha melepas ketertinggalan dan membentuk opini bahwa kita sekarang adalah universitas, yang tentunya harus sama dengan universitas-universitas negeri lain di manapun.

Itu sebuah optimisme yang sangat bagus. Setidaknya, seperti kata Iwan Fals dalam salah satu syair lagunya, 'tunjukkan pada dunia bahwa sebenarnya kita mampu'. Namun persoalannya, apakah kita sudah siap untuk itu semua? Mampu menciptakan UNJ sebagai sebuah kampus yang ideal, berkualitas, atau bahkan disegani universitas lain.

Padahal, sebagai universitas negeri [yang katanya] nomor dua di Jakarta, tidak sedikit calon mahasiswa yang memilih UNJ hanya karena 'yang penting masuk universitas negeri'. Mereka memilihnya atas dasar sedikitnya peminat yang memilih UNJ. Tidak peduli nantinya jadi apa.

Itu sebuah kegembiraan sekaligus sebuah tantangan bagi kampus kita yang tercinta ini. Kegembiraannya karena kampus kita ceritanya mampu untuk sedikit setara dengan universitas negeri lain, sementara tantangan terbesar adalah kualitas mahasiswa dan lulusannya jadi taruhan. Saya lantas teringat keluh kesah salah seorang alumni kampus kita, suatu ketika dia membaca lowongan pekerjaan di koran, dia begitu terperanjat ketika membaca lowongan dengan spesifikasi 'tidak menerima lulusan UNJ'. Lagi-lagi saya tersenyum mengingatnya.

Setelah selesai ngopi di Kansas, saya berjalan menyusuri koridor kampus. Tiba-tiba saya tersadar bahwa ini Indonesia. Ketika memandang ke bawah pun, saya melihat sandal jepit di kaki saya masih menempel di ubin yang berwarna putih kehitam-hitaman di koridor kampus kita yang tercinta ini. Saya tersenyum, tersadar, bahwa ternyata saya masih berada di UNJ yang merupakan bagian dari Indonesia.

Dan senja sore pun makin sempurna di cakrawala, saya sedih sekaligus bahagia karena saya harus secepatnya pulang ke kontrakan PJKA.

Selamat sore UNJ!


Pesanggrahan PJKA, 15 Januari 2005

Ruslan Oyong Ghofur
Pekerja Teater Zat

0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online