19 May 2010

ATAS NAMA CINTA

Cinta. Entah kenapa kata itu terdengar begitu sakral dan agung. Entah apa penyebabnya sehingga kata itu seperti tidak pernah bosan untuk dibicarakan. Dan, entah bagaimana awal mulanya sehingga kata ‘cinta’ seperti tidak pernah mau lepas dari kehidupan kita.

Begitulah, ketika semua hal berbau cinta itu hadir, yang terjadi adalah adegan-adegan kehidupan yang menguras emosi. Ada air mata, senyum, tawa, tangis, geram, putus asa, kesal, gundah gulana, hasrat, kebencian, dan lain-lain. Semuanya tumpah ruah membela sebuah kata yang bernama cinta.

Makanya, tidak heran kalau cerita-cerita tentang romantika cinta dengan segudang tragedinya, bermunculan di mana saja. Di daratan Eropa, kita mengenal kisah tragedi cinta antara Romeo dan Juliet. Di belahan Arabia, ada kisah sedih yang bertutur tentang perjuangan cinta Qais dan Laila. Di Jawa, kita disuguhkan roman percintaan antara Roro Mendut dan Pronocitro. Serta di belahan dunia lainnya, yang tentu akan menambah panjang deretan cerita cinta, baik yang berakhir senyum ataupun berujung tragis.

Pendek kata, selama dunia masih berputar dan manusia masih mampu untuk bernapas, cerita-cerita cinta beserta segala problematikanya akan terus bergulir. Entah itu menciptakan cerita cinta yang benar-benar baru, ataupun mengulang cerita lama yang pernah terjadi sebelumnya.

Kebayang nggak sih kalau di dunia ini nggak ada yang namanya cinta?

Suatu hari, salah seorang teman yang seringkali gonta-ganti pacar, pernah bilang dengan sedikit ngotot; “Gue nggak pernah kenal yang namanya cinta. Tapi, gue bisa kencan dengan tiga cewek berbeda dalam sehari. Jadi, tai kucing dengan cinta!”
Mungkin maksud teman saya itu begini, dia rupanya begitu mengagumi yang namanya HTS alias ‘Hubungan Tanpa Status’. Atau meminjam bahasa yang sering dinyanyikan vokalis duo Ratu; ‘Teman Tapi Mesra’. Karena kemampuannya memang seperti itu, sedikit banyak dia merasa bangga ketika mampu mengenyampingkan rasa cinta dalam kehidupannya. Tapi, dia cukup berbangga diri karena bisa kencan dengan berbagai-bagai rupa cewek yang dia sukai.

Saya hanya tertawa mendengarnya.

Lantas, saya sedikit dibuat kaget manakala teman saya itu tiba-tiba datang ke rumah, tepat ketika malam menjelang pagi. Mukanya panik, cemas, gelisah, dan takut. Semuanya bercampur-campur menjadi satu. Dengan napas masih tersengal berat dan keringat mengucur deras sebiji-biji kedelai, dia hanya menggumam lemah. “Cewek gue hamil.”

“Cewek?” tanya saya heran. “Cewek lu yang mana? Perasaan lu paling anti deh sama yang namanya pacaran!”

“Udah deh, nggak usah bahas soal itu. Sekarang lu bantu gue dong, gue harus ngapain? Gue nggak mau married muda. Sementara, cewek gue nggak mau aborsi,”

“Enak aja lu! Berani berbuat, harus berani tanggung jawab dong,” jawab saya dengan nada datar tapi sedikit sinis.

Teman saya hanya diam, sepertinya dia sedang memikirkan kata-kata saya. Dan, beberapa hari kemudian, saya mendengar teman saya itu telah menikah dengan pacar yang sudah dihamilinya. Mungkin tidak akan lama lagi dia akan menjadi seorang ayah.
Saya kembali menertawakan itu semua. Lantas, saya pun kembali berpikir, bahwa semua yang telah dilakukan teman saya itu atas dasar apa? Apa mereka melakukannya atas dasar suka sama suka? Atau karena cinta? Apakah cinta selalu dihubungkan dengan pacaran? Atau apa?

Sekali lagi, itulah cinta. Di satu sisi, cinta akan membuat orang menangis. Sementara di sisi yang lain, cinta mampu membuat orang tertawa terbahak-bahak.

So, wajar dong jika orang-orang pada bilang, kalau cinta adalah sebuah misteri?

0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online