06 June 2007

Sisi Kehidupan Tentara dalam Peperangan

Kompas, Minggu, 17 Juni 2001

Judul: Kabut Negeri si Dali - Kumpulan Cerita Pendek; Penulis: AA Navis;
Penerbit: Grasindo; Cetakan: Pertama, Tahun 2001;
Tebal: (viii+110) halaman; Harga: Rp.13.500.

PADA usianya yang sudah 70 tahun lebih, AA Navis masih mampu berkarya dan mewarnai khasanah kesastraan Indonesia. Salah satunya adalah kumpulan cerita pendeknya yang terbaru, yang berjudul 'Kabut Negeri si Dali' diterbitkan oleh Grasindo.

Buku ini menampilkan 15 cerpen terbaik Navis yang ditulis tahun 1990-1999. Judul cerpennya: Si Montok, Si Bangkak, Laporan, Gundar Sepatu, Sang Guru Juki, Penumpang Kelas Tiga, Perempuan itu Bernama Lara, Rekayasa Sejarah si Patai, Marah yang Merasai, Penangkapan, Zaim yang Penyair ke Istana, Inyik Lunak si Tukang Canang, Tamu yang Datang di Hari Lebaran, Dua Orang Sahabat, dan Bayang-bayang.

Cerpen-cerpen ini bertutur tentang kehidupan manusia serta liku-likunya, umumnya hidup di dalam peperangan. Diawali oleh cerpen Si Montok yang menggambarkan ketidakberdayaan seorang prajurit akibat 'kegagahan' seorang kapten.

Seorang kapten berhasil mengawini wanita yang rumahnya dijadikan tempat persembunyian di desa. Wanita itu Si Montok. Sebelum dijadikan istri oleh kapten, Si Montok sempat menjadi rebutan prajurit. Sang kapten sebenarnya sudah mempunyai istri yang ditinggalkan di kota ketika seluruh tentara telah mengungsi ke desa-desa karena kota diduduki musuh (hlm. 1)

Cerpen yang lain cukup menggugah yaitu Tamu yang Datang di Hari Lebaran. Kisahnya tentang suami istri yang sudah tua. Suaminya dulu menjadi gubernur, setelah tua dan tidak lagi menjadi gubernur, tidak ada lagi orang yang datang terutama pada waktu lebaran, termasuk anak-anaknya. Justru yang mengunjungi mereka pada hari lebaran adalah malaikat yang akan menjemput maut. Ini merupakan karya terbaik Navis yang bersama cerpen-cerpen karya pengarang lain dikumpulkan dalam buku Derabat, Cerpen Pilihan Kompas 1999.

Pesan-pesan moral juga ditampilkan Navis dalam cerpen Sang Guru Juki. Sebagai seorang guru, tidak pantas apabila Juki sering bergonta-ganti istri. Adapun pemikiran guru Juki tentang kawin berbeda dengan pemikiran si Dali. Hal itu digambarkan Navis ketika keduanya sedang berdebat:

"Kau pikir hidup perempuan-perempuan desa itu bergantung pada suaminya? Mereka perempuan yang mandiri. Mereka punya rumah, punya tanah, punya ladang untuk menjamin hidupnya."

"Tapi di mana letak moralnya?"

"Moralnya? Moralnya adalah pada kebanggaan orang desa dapat suami orang kota seperti aku. Guru lagi."

"Yang aku tanya bukan mereka. Tapi waang sebagai guru," kata si Dali dengan menggunakan kata waang sebagai ganti kata engkau yang lebih kasar dalam bahasa daerahnya.

"Biar guru, waktu perang moralnya beda."

"Tapi kamu tidak ikut perang. Cuma kawin melulu." .....(hlm. 25)

Melalui buku ini pula tampaknya Navis ingin mengemukakan sisi lain kehidupan tentara dalam peperangan. Ada tentara yang benar-benar berjuang untuk bangsa dan tanah airnya. Sementara ada juga tentara yang lebih mementingkan kemegahan dan kekuasaan. Salah satunya terlihat dalam cerpen Inyik Lunak si Tukang Canang.

***

BILA dicermati, buku ini lebih mirip buku sejarah yang dikemas dalam bentuk cerita pendek. Dengan gayanya yang kocak, karikatural, menggelitik, ditambah pengalaman menyaksikan sendiri peperangan, jadilah buku ini sebagai pengetahuan sejarah yang tidak akan ditemukan dalam buku sejarah.

Seperti dalam buku cerpennya yang lain, dalam buku ini latar tempat dari sebagian besar karyanya berlokasi di Kota Padang. Nuansa Minangkabau ditambah ungkapan-ungkapan khas kota tersebut begitu kental, dan menjadi salah satu ciri dari cerpen-cerpennya.

Tokoh dari semua cerpen dalam buku ini adalah si Dali, kadang sebagai pelaku utama, kadang pelaku sampingan. Semua cerpennya melibatkan si Dali, baik sebagai orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga. Nama Dali diambil dari Uda Ali (Abang Ali), nama panggilan Ali Akbar Navis oleh adik-adiknya (hlm. viii).

Tema sebagian besar cerpen yang ditampilkan adalah potret dari ekses dan latar belakang sejarah politik dan perang mulai dari zaman pendudukan Jepang hingga zaman Orde Baru. Dengan buku ini, sebenarnya AA Navis sedang membawa kita pada pengalaman-pengalaman sebagai bangsa pada masa lalu, yang tentu akan lebih memperkaya batin kita.

(Moh Ruslan AG, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta).

===================================================

0 Comments:

Post a Comment



 

blogger templates | Make Money Online