06 June 2007

SELAMAT PAGI UNJ!

Tabloid Transformasi UNJ

Syahdan, di sebuah kampus di sebuah negara, terlihat suasana aktivitas pendidikan yang menawan. Bangunan kampus itu rapi dan bersih dengan polesan cat yang apik.

Penataan gedung-gedungnya juga sangat artistik. Di sisi kiri kanan gedung terdapat taman dengan bangku-bangkunya yang selalu diduduki mahasiswa untuk sekadar baca buku, diskusi, atau bahkan untuk duduk-duduk melepas kepenatan setelah seharian berkuliah.

Di ujung jalan, terdapat bangunan yang berisi ratusan komputer. Para mahasiswa terlihat tekun mengoperasikan komputer, menjelajahi dunia cyber, atau sekadar melengkapi administrasi melalui komputer. Semuanya disediakan secara gratis oleh kampusnya. Di samping gedung tersebut berdiri megah asrama yang dikhususkan bagi mahasiswa secara cuma-cuma. Semuanya gratis!

Di tengah-tengah kampus terdapat bangunan yang menjulang tinggi, sangat mencolok dibandingkan bangunan lain yang ada di kampus itu. Sebuah perpustakaan. Gedung itu berisi ribuan buku yang selalu tertata rapi dan tidak pernah hilang. Buku-buku baru selalu bermunculan dan memenuhi rak-rak buku. Kalau ada mahasiswa yang tidak tahu di mana letak buku yang sedang dicarinya, maka petugas dengan ramah akan menunjukkannya. Di perpustakaan yang terbuka 24 jam penuh itu selalu disesaki mahasiswa yang haus membaca buku.

Sesekali terlihat dosen sedang berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswanya di koridor kampus. Mereka terlihat akrab, yang satu tidak merasa dosen sehingga merasa lebih pintar, sedang sang mahasiswa juga menganggap dosen sebagai mitra belajarnya. Sepertinya dosen-dosen itu sangat mempunyai waktu yang sangat luang untuk melayani mahasiswa-mahasiswanya. Mereka tidak terlihat terburu-buru untuk mengajar di tempat lain atau mengurusi proyek kampus yang bernilai jutaan rupiah.

Sementara di sudut lain, beberapa mahasiswa sedang berdiskusi di bawah rerimbunan pohon. Walaupun terkesan santai, tapi rupanya perbincangan mereka cukup serius. Yang jelas suasana kultur akademis dan keilmuan berkembang dengan baik di kampus itu.

Ketika malam, kampus itu sangat terang benderang. Lampu penerangan kondisinya sangat baik dan terawat. Sayup-sayup terdengar suara musik dari sekelompok mahasiswa pecinta seni yang sedang mementaskan opera di gedung teater. Gedung itu layaknya gedung teater zaman Romawi Kuno dengan panggung dan pencahayaan yang baik. Tempat duduk penonton pun berjajar rapi bersusun dari atas ke bawah. Dindingnya dilapisi kayu sehingga menimbulkan suara yang halus. Semua mahasiswa tentunya boleh menggunakan fasilitas itu dengan mudah dan gratis.

Entah ada atau tidak kampus itu yang jelas khayalan itu mungkin dialami oleh sebagian mahasiswa di kampus kita yang tercinta ini. Dan saya yakin semua mahasiswa di kampus kita akan berteriak "mustahil!" jika disodorkan cerita seperti itu.

Tapi nanti dulu. Angan-angan tentu boleh saja, toh tidak ada yang melarang. Jadi boleh saja dong saya berangan-angan kampus kita nanti bisa seperti itu. Sekurangnya seperti kampus di atas yang entah ada atau tidak. Tidak mesti sekarang tentunya, karena pasti tidak mungkin, entah 2050, 2090, atau 2200. Kita lihat saja nanti.

Tapi seorang teman saya, mahasiswa gondrong yang sedikit nakal dan urakan sering berujar; "Jangan macam-macam minta yang lebih, wong SPP-nya saja cuman segitu." [Mungkin teman saya ini lupa kalau sekarang biaya kuliah sudah sangat mahal], atau maksud teman saya kira-kira begini; jangan harap dapat hasil yang berkualitas dari kuliah karena SPP-nya masih kurang gede! Atau teman saya sebenarnya pengen ngomong kalau tidak sedikit penghuni kampus ini yang kualitasnya tidak bagus! Saya sendiri agak tidak suka dengan dugaan saya yang terakhir, tapi sudahlah, kan saya cuman nerka-nerka maksud perkataan teman saya barusan.

Teman saya yang satu lagi ketika ditanya tentang alasan mengapa masuk kampus kita yang tercinta ini dan mengambil jurusan yang dipilihnya, dengan enteng ia menjawab bahwa semuanya karena untung-untungan lulus SPMB. "Masuk UNJ lebih gampang ketimbang UI atau ITB." katanya.

Saya sendiri ingat ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampus tercinta ini, saya sering merasa cemas, kadang juga senang, atau yang lebih sering adalah kebanggaan. Mungkin saya berharap dengan sepenuh hati bahwa UNJ-lah yang nantinya akan mengubah masa depan dan kehidupan saya selanjutnya. Atau UNJ-lah yang nantinya bakalan mengantarkan saya ke gerbang kesuksesan. Tetapi, ketika saya menemukan relita yang sebenarnya dari kampus yang bernama UNJ, saya hanya bisa tersenyum kecut. Sialnya teman saya yang sering mencemooh makin menjadi-jadi mencemooh saya ketika saya menceritakan kalau saya telah menemukan hal sebenar-benarnya dari kampus kita yang tercinta ini.

Saya benar-benar dendam diperlakukan seperti itu, saya berharap suatu saat bisa mencemooh dia. Suatu sore menjelang senja, ketika saya sedang memasuki kampus kita yang tercinta ini dari Jalan Rawamangun Muka, saya bertemu dengannya. Saya agak aneh karena melihat roman mukanya yang masam. Dia lantas bercerita kalau baru saja mengurus sesuatu di ruang administrasi. "Gila, masak ruang administrasi baru buka jam sembilan? Pada kemana aja tuh orang-orang!" Saya cuman ketawa sambil sesekali mencemooh dia tentunya. Impas!

Cerita sahabat saya yang gondrong tadi kira-kira mirip cerita yang pernah saya alami. Waktu itu kami janjian jam delapan pagi akan ketemuan di depan pintu perpustakaan kampus kita yang tercinta ini, pacar saya berharap perpustakaan akan buka jam delapan tepat. Berhubung saya bangun kesiangan, jam sembilan pagi saya baru datang ke perpustakaan. Dan itu pun perpustakaan tetap belum buka, jadilah pacar saya yang uring-uringan karena perpustakaan belum buka menumpahkan kekesalannya pada saya.

Kembali lagi ke cerita sahabat saya yang gondrong. Setelah puas mencemooh, saya cepat bergegas ke Kansas karena seharian belum kena air kopi. Ketika saya sedang ngopi di warung Mas Lono, dua mahasiwa masuk dan langsung duduk di depan saya, rupanya mereka pejabat mahasiswa di lembaga eksekutif, satu di antara keduanya sedang bergerutu karena acara konser nasyid yang akan mereka laksanakan terancam batal, pasalnya Teater Sastra sudah dibooking buat acara kawinan. "Gimana kalau kita pake gedung Sarwahita aja," temannya memberi saran. "Antum gimana sih, dana kita kan minim, setahu ane sekarang pinjem Sarwahita harus bayar!" sanggahnya. Nah lu! Padahal ngapain juga pakai Teater Sastra [atau Teater Besar], gedung itu kan tidak bagus buat pentas seni, tidak ada sistem pencahayaan yang bagus, tidak kedap suara, dan akustiknya juga kurang baik, kata saya dalam hati.

Penggantian nama IKIP Jakarta menjadi UNJ belum terlalu lama. Baru lima tahun. Untuk ukuran anak kecil atau bayi, umur lima tahun memang sedang nakal-nakalnya dan baru belajar mengenal berbagai objek di sekelilingnya. Selama kurun waktu lima tahun dari 1999-2005, sepertinya UNJ sedang berusaha melepas ketertinggalan dan membentuk opini bahwa kita sekarang adalah universitas, yang tentunya harus sama dengan universitas-universitas negeri lain di manapun.

Itu sebuah optimisme yang sangat bagus. Setidaknya, seperti kata Iwan Fals dalam salah satu syair lagunya, 'tunjukkan pada dunia bahwa sebenarnya kita mampu'. Namun persoalannya, apakah kita sudah siap untuk itu semua? Mampu menciptakan UNJ sebagai sebuah kampus yang ideal, berkualitas, atau bahkan disegani universitas lain.

Padahal, sebagai universitas negeri [yang katanya] nomor dua di Jakarta, tidak sedikit calon mahasiswa yang memilih UNJ hanya karena 'yang penting masuk universitas negeri'. Mereka memilihnya atas dasar sedikitnya peminat yang memilih UNJ. Tidak peduli nantinya jadi apa.

Itu sebuah kegembiraan sekaligus sebuah tantangan bagi kampus kita yang tercinta ini. Kegembiraannya karena kampus kita ceritanya mampu untuk sedikit setara dengan universitas negeri lain, sementara tantangan terbesar adalah kualitas mahasiswa dan lulusannya jadi taruhan. Saya lantas teringat keluh kesah salah seorang alumni kampus kita, suatu ketika dia membaca lowongan pekerjaan di koran, dia begitu terperanjat ketika membaca lowongan dengan spesifikasi 'tidak menerima lulusan UNJ'. Lagi-lagi saya tersenyum mengingatnya.

Setelah selesai ngopi di Kansas, saya berjalan menyusuri koridor kampus. Tiba-tiba saya tersadar bahwa ini Indonesia. Ketika memandang ke bawah pun, saya melihat sandal jepit di kaki saya masih menempel di ubin yang berwarna putih kehitam-hitaman di koridor kampus kita yang tercinta ini. Saya tersenyum, tersadar, bahwa ternyata saya masih berada di UNJ yang merupakan bagian dari Indonesia.

Dan senja sore pun makin sempurna di cakrawala, saya sedih sekaligus bahagia karena saya harus secepatnya pulang ke kontrakan PJKA.

Selamat sore UNJ!


Pesanggrahan PJKA, 15 Januari 2005

Ruslan Oyong Ghofur
Pekerja Teater Zat

Selanjutnya..

Kompas, Minggu, 17 Juni 2001

Judul: Kabut Negeri si Dali - Kumpulan Cerita Pendek; Penulis: AA Navis;
Penerbit: Grasindo; Cetakan: Pertama, Tahun 2001;
Tebal: (viii+110) halaman; Harga: Rp.13.500.

PADA usianya yang sudah 70 tahun lebih, AA Navis masih mampu berkarya dan mewarnai khasanah kesastraan Indonesia. Salah satunya adalah kumpulan cerita pendeknya yang terbaru, yang berjudul 'Kabut Negeri si Dali' diterbitkan oleh Grasindo.

Buku ini menampilkan 15 cerpen terbaik Navis yang ditulis tahun 1990-1999. Judul cerpennya: Si Montok, Si Bangkak, Laporan, Gundar Sepatu, Sang Guru Juki, Penumpang Kelas Tiga, Perempuan itu Bernama Lara, Rekayasa Sejarah si Patai, Marah yang Merasai, Penangkapan, Zaim yang Penyair ke Istana, Inyik Lunak si Tukang Canang, Tamu yang Datang di Hari Lebaran, Dua Orang Sahabat, dan Bayang-bayang.

Cerpen-cerpen ini bertutur tentang kehidupan manusia serta liku-likunya, umumnya hidup di dalam peperangan. Diawali oleh cerpen Si Montok yang menggambarkan ketidakberdayaan seorang prajurit akibat 'kegagahan' seorang kapten.

Seorang kapten berhasil mengawini wanita yang rumahnya dijadikan tempat persembunyian di desa. Wanita itu Si Montok. Sebelum dijadikan istri oleh kapten, Si Montok sempat menjadi rebutan prajurit. Sang kapten sebenarnya sudah mempunyai istri yang ditinggalkan di kota ketika seluruh tentara telah mengungsi ke desa-desa karena kota diduduki musuh (hlm. 1)

Cerpen yang lain cukup menggugah yaitu Tamu yang Datang di Hari Lebaran. Kisahnya tentang suami istri yang sudah tua. Suaminya dulu menjadi gubernur, setelah tua dan tidak lagi menjadi gubernur, tidak ada lagi orang yang datang terutama pada waktu lebaran, termasuk anak-anaknya. Justru yang mengunjungi mereka pada hari lebaran adalah malaikat yang akan menjemput maut. Ini merupakan karya terbaik Navis yang bersama cerpen-cerpen karya pengarang lain dikumpulkan dalam buku Derabat, Cerpen Pilihan Kompas 1999.

Pesan-pesan moral juga ditampilkan Navis dalam cerpen Sang Guru Juki. Sebagai seorang guru, tidak pantas apabila Juki sering bergonta-ganti istri. Adapun pemikiran guru Juki tentang kawin berbeda dengan pemikiran si Dali. Hal itu digambarkan Navis ketika keduanya sedang berdebat:

"Kau pikir hidup perempuan-perempuan desa itu bergantung pada suaminya? Mereka perempuan yang mandiri. Mereka punya rumah, punya tanah, punya ladang untuk menjamin hidupnya."

"Tapi di mana letak moralnya?"

"Moralnya? Moralnya adalah pada kebanggaan orang desa dapat suami orang kota seperti aku. Guru lagi."

"Yang aku tanya bukan mereka. Tapi waang sebagai guru," kata si Dali dengan menggunakan kata waang sebagai ganti kata engkau yang lebih kasar dalam bahasa daerahnya.

"Biar guru, waktu perang moralnya beda."

"Tapi kamu tidak ikut perang. Cuma kawin melulu." .....(hlm. 25)

Melalui buku ini pula tampaknya Navis ingin mengemukakan sisi lain kehidupan tentara dalam peperangan. Ada tentara yang benar-benar berjuang untuk bangsa dan tanah airnya. Sementara ada juga tentara yang lebih mementingkan kemegahan dan kekuasaan. Salah satunya terlihat dalam cerpen Inyik Lunak si Tukang Canang.

***

BILA dicermati, buku ini lebih mirip buku sejarah yang dikemas dalam bentuk cerita pendek. Dengan gayanya yang kocak, karikatural, menggelitik, ditambah pengalaman menyaksikan sendiri peperangan, jadilah buku ini sebagai pengetahuan sejarah yang tidak akan ditemukan dalam buku sejarah.

Seperti dalam buku cerpennya yang lain, dalam buku ini latar tempat dari sebagian besar karyanya berlokasi di Kota Padang. Nuansa Minangkabau ditambah ungkapan-ungkapan khas kota tersebut begitu kental, dan menjadi salah satu ciri dari cerpen-cerpennya.

Tokoh dari semua cerpen dalam buku ini adalah si Dali, kadang sebagai pelaku utama, kadang pelaku sampingan. Semua cerpennya melibatkan si Dali, baik sebagai orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga. Nama Dali diambil dari Uda Ali (Abang Ali), nama panggilan Ali Akbar Navis oleh adik-adiknya (hlm. viii).

Tema sebagian besar cerpen yang ditampilkan adalah potret dari ekses dan latar belakang sejarah politik dan perang mulai dari zaman pendudukan Jepang hingga zaman Orde Baru. Dengan buku ini, sebenarnya AA Navis sedang membawa kita pada pengalaman-pengalaman sebagai bangsa pada masa lalu, yang tentu akan lebih memperkaya batin kita.

(Moh Ruslan AG, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta).

===================================================

Selanjutnya..

Pikiran Rakyat
Senin, 29 Desember 2003

PANITIA Lomba Penulisan Skenario Film (LPSF) Kota Tegal Jawa Tengah akhirnya menetapkan skenario berjudul "Bintangku Jauh di Langit" karya Ruminto asal Desa Setiadi Kec. Pring Kab. Kebumen Jawa Tengah sebagai skenario terbaik dalam Lomba Penulisan Skenario Film (LPSF) Kota Tegal 2003. Skenario untuk film lepas itu mengungguli 10 skenario yang masuk dalam nominasi dewan juri.

Dalam acara penganugerahan juara yang berlangsung Sabtu (27/12) malam di Gedung Kesenian Kota Tegal, Ruminto tidak sempat hadir. Sementara itu, peringkan II lomba tersebut diraih oleh Sigit Haryudonbo, warga Poncowolo Barat 7/501 Semarang dengan skenario berjudul "Keliru". Posisi III diraih Ruslan Ghofur warga Gang Ardisela RT 4 RW 2 41 Sleman Kec. Sliyeg Kab. Indramayu Jabar dengan skenario berjudul "Kadis".

Panitia juga menganugerahkan juara harapan I, II, dan III yang masing-masing diraih Darmanto Marnadi (Tegal) dengan judul "Bom Togel", Jariyah, S.Pd. (Slawi) dengan skenario "Guruku Sayang Guruku Malang", sedangkan juru kunci adalah Eko Tunas (Semarang) dengan skenario berjudul "Rumah Tak Berpintu".

Para juara tersebut mendapat hadiah uang tunai dari yang terbesar Rp 4 juta hingga yang terkecil 750.000. "Saya terus terang terkejut mendapat juara harapan I dengan hadiah uang Rp 1,5 juta. Akan tetapi, saya bersyukur karena uangnya bisa untuk berangkat kerja di Jakarta," ujar Darmanto Marnadi usai menerima hadiah yang diserahkan Imam Tantowi sutradara yang menjadi juri LPSF Kota Tegal.

Imam Tantowi satu-satunya juri yang bisa hadir pada malam penyerahan hadiah tersebut. Dua juri lainnya, yakni Chaerul Umam (sutradara) dan Adi Nugroho dari Multivision Plus tidak bisa hadir. Kendati kedua juri tidak hadir, acara berlangsung cukup meriah meski hujan mengguyur Kota Tegal dengan lebat hingga ruangan Gedung Kesenian yang digunakan itu beberapa tempat bocor. Tampak di panggung, panitia harus memindah peralatan musik karena air hujan masuk akibat atapnya bocor.

Mengevaluasi kegiatan tersebut Imam Tamtowi pada kesempatan itu mengatakan bahwa sebagai kegiatan awal, LPSF Kota Tegal bisa dibilang sukses. Hal itu dilihat dari jumlah peserta sebanyak 33 skenario dari berbagi penulis di pulau Jawa. Naskah skenario terjauh dikirim oleh peserta dari Surabaya. "Hampir seluruh kota di Jawa Tengah mengirimkan karya skenario," ujar Imam Tantowi.

Dari sejumlah 33 skenario, relatif menggambarkan bahwa seni menulis skenario cukup diminati meskipun di sana sini masih terdapat kekurangfasihan, terutama dalam bidang tehnis dan dialog. Setelah dilakukan penyaringan tahap pertama hanya 21 skenario layak dinilai, sedangkan 12 tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah skenario film.
"Yang tak layak dinilai itu karena berbentuk cerpen, ada yang berbentuk naskah sandiwara dan ada yang berbentuk director skrip," kata Imam Tantowi menambahkan.
Padahal, menurut Imam, skenario lain dari cerpen, novel, atau yang lainnya. Skenario memiliki bentuk dan disiplin ilmu tersendiri untuk menyusunnya. Bahkan, bisa saja orang yang lihai dalam mengarang cerita, dia tidak bisa menuliskan dalam bentuk skenario karena adanya aturan teknis.

Setelah bekerja hampir setengah bulan, dewan juri meloloskan 10 skenario nominasi juara. Kesepuluh skenario itu terdiri dari "Keliru" karya Sigit Haryudono, "Guruku Sayang Guruku Malang" karya Jariyah S.Pd., "Rumah Tak Berpintu" karya Eko Tunas, "Kadis" karya Ruslan Ghofur ide cerita Moh. Diponegoro, "Bintangku Jauh di Langit" karya Ruminto, "Bom Togel" karya Darmanto Manardi, "Darah Laut" karya Rina Afriadi, "Menggapai Impian" karya M. Widodo, "Usia 30" karya Maesaroh dan "Rumah Yang Ditinggalkan" karya Eko Tunas.

Skenario terbaik, "Bintang Jauh di Langit", menurut Imam Tantowi merupakan skenario yang berstandar nasional. Dari sisi cerita, skenario ini diangap paling baik dan orisinal. Kisahnya menceritakan seorang guru agama (pria) yang dalam hatinya bergejolak ketika melihat seorang murid wanita yang pacaran dengan murid lelaki.
Orang akan mengira bahwa si guru tersebut pasti cemburu terhadap perilaku siswinya itu. Namun ternyata justru sebaliknya, guru agama yang ternyata memiliki kelainan seks itu mencintai siswa yang selama ini berdekat-dekat dengan siswi itu. "Adegannya lucu, ketika si pria itu sedang pacaran dengan seorang siswa lalu si guru agama itu pingsan. Orang-orang mengira bahwa guru itu cemburu buta terhadap si siswi, ternyata tidak, justru cemburu kepada si siswa," tandasnya. (Marsis/"PR")***

Selanjutnya..

02 June 2007

TEGAL-Kendati hujan terus mengguyur Kota ''Bahari'' Tegal, acara penganugerahan hasil Lomba Penulisan Skenario Film (LPSF), Sabtu (27/12) malam, di Gedung Kesenian Tegal (GKT) tetap berlangsung cukup meriah. Suasana terasa hidup, setelah sutradara Imam Tantowi, yang juga sebagai anggota tim juri, menyampaikan hasil evaluasi terhadap 33 karya peserta lomba.

Tanpa didampingi dua juri lain -yakni Chaerul Umam (sutradara) dan Adi Nugroho (Multivision Plus) yang bisa hadir-, Imam Tantowi menegaskan, sebagai kegiatan awal, LPSF bisa dibilang cukup berhasil. Terbukti, kegiatan yang dibuka hanya sekitar setengah bulan itu mampu menarik peserta sebanyak 33 skenario dari berbagi penulis di pulau Jawa. Naskah skenario terjauh, dikirim oleh peserta dari Surabaya. ''Hampir seluruh kota di Jawa Tengah , mengirimkan karya skenario,'' ujar Imam Tantowi.

Menurutnya, jumlah peserta itu cukup bisa menggambarkan bahwa seni menulis skenario cukup diminati. ''Meski masih terdapat kekurangfasihan, terutama dalam bidang teknis dan dialog, fakta tersebut sudah memperlihatkan bahwa menulis skenario sekarang sudah menjadi tren di daerah," ujarnya menambahkan.

Berbentuk Cerpen

Dia mengatakan, usai dilakukan penyaringan terhadap 33 karya yang masuk pada tahap pertama, hanya ada 21 skenario yang layak dinilai. Sedangkan 12 karya lainnya, belum memenuhi kriteria penilaian sebagai sebuah skenario film. ''Yang tidak layak dinilai itu, karena berbentuk cerpen. Bahkan, ada yang berbentuk naskah sandiwara dan ada yang berbentuk director script,'' jelas Imam Tantowi.

Padahal, kata dia, karya skenario berbeda dengan cerpen, novel atau yang lainnya. ''Dalam menyusun skenario, ada bentuk dan disiplin ilmu tersendiri. Bahkan, bisa saja orang yang lihai mengarang cerita, tapi tidak bisa menuliskannya dalam bentuk skenario karena adanya aturan teknis itu.''

Setelah melalui penilaian akhir, skenario karya Ruminto (penulis asal Desa Setiadi, Kecamatan Pring, Kebumen) berjudul Bintangku Jauh di Langit dinyatakan berhasil mengungguli 10 karya skenario yang masuk nominasi dewan juri, sehingga berhak menyandfang gelar juara pertama.

Sementara itu juara II, diraih Sigit Haryudonbo, asal Poncowolo Barat, Semarang, melalui karyanya berjudul Keliru. Juara III, Ruslan Ghofur asal Gang Ardisela Sleman, Kecamatan Sliyeg, Indramayu (Jabar) lewat sebuah karyanya yang cukup menarik.

Skenario terbaik, Bintangku Jauh di Langit, menurut Imam Tantowi, merupakan skenario berstandar nasional. Dari sisi cerita, cukup baik dan orisinal. Dalam karya itu diceritakan, seorang guru agama (pria) yang dalam hatinya bergejolak ketika melihat seorang murid wanita yang pacaran dengan murid laki-laki.

Kata Imam, orang akan mengira si guru cemburu terhadap perilaku siswinya itu. Namun, sebaliknya guru yang ternyata memiliki kelainan seks itu, mencintai siswa yang selama ini berdekat-dekat dengan siswi itu. ''Adegannya lucu; ketika si pria itu sedang pacaran dengan seorang siswa, si guru agama itu pingsan. Orang-orang mengira, guru itu cemburu buta terhadap si siswi. Ternyara tidak; tapi justru cemburu kepada si siswa,'' kata dia. (G12,aj-41)

(Sumber: Suara Merdeka, Senin, 29 Desember 2003)

Selanjutnya..

GENG KOPI TUBRUK


Santri Juga Bisa Gokil!
Judul: Geng Kopi Tubruk
Penulis: Ruslan Ghofur
Tebal: x + 212 halaman
Cetakan I: September 2006

Doni, Encep, dan Dul, menjadi teman akrab sejak kedatangan mereka di Pesantren Bait al-Muslimin. Doni yang asli Jakarta, Encep yang berdarah Sunda, dan Dul yang keluaran Tegal; perbedaan ini malah membuat kehidupan mereka di salah satu kamar asrama F jadi meriah dan asyik. Apalagi kalau mereka sudah kompak nongkrong di warung Kang Somad, menghadap segelas kopi tubruk hitam pekat!

Hasilnya, adaaa … saja ide iseng dan nakal mereka, dari bolos setoran hafalan, rebutan naksir Adinda, kirim surat cinta malah nyasar ke polisi pondok, berlagak sok pahlawan tak tahunya malah dicap pecundang, ketahuan nonton layar tancap sama Pak Kiai, kesandung masalah sama preman kampung … Benar-benar tak ada habisnya.

Hehehe, ternyata bakat kreatif khas anak-anak puber mereka tetap tersalurkan juga di pesantren. Bakat kreatif yang unik dan lucu, dan bikin para orang dewasa hanya bisa geleng-geleng kepala! ;))

Selanjutnya..
 

blogger templates | Make Money Online